Aku merasakan kecanggungan Bi Imah ketika menggenggam pen*sku. Seakan-akan tengah menimbang-nimbang
“Mau diapakan benda ini?”
“Dik*c*k dong Bi..” bisikku memohon.
Seketika itu juga tangan Bi Imah mulai bergerak-gerak di dalam cel*na d*lamku.
“Iya bi.. iyaahh.. lebih cepat bi.. lebih cepaat.”
Tampaknya untuk soal k*c*k meng*c*k, Bi Imah lumayan berpengalaman.
Ia juga tahu tempat sens*tif pria di urat sebelah bawah kepala pen*s. Seraya meng*c*k naik-turun, jempolnya mempermainkan urat itu membuat mataku terbeliak dan pinggulku berputar-putar.
“Enak bi.. aahh.. ennaak..” Lalu tanganku melepaskan remasan di pant*tnya, dan kusentakkan tali cel*na d*lam nilonnya.
Maka terlepaslah penutup terakhir tubuh sintal isteri Mang Iyus itu. Dengan sigap kuletakkan j*ri teng*hku di bel*han v*gina Bi Imah. Kusibakkan hutan lebat keriting itu, lalu jariku mencari-cari tonjolan kecil di bagian atas v*ginanya.
“aahh.. ss.. aahh.. agak keatas Fi.. agak keatas.. iyaah.. Yang ituu.. yang ituu.. ouuh..”
Kembali tangan kanan Bi Imah memeluk leherku, sementara tangan kirinya semakin cepat meng*c*k pen*sku.
(“Oh Rafii, k*c*kanmu begitu nikmat di klit*risku. Auhh, dasar anak nakal! Sempat-sempatnya kau sentil daging itu.
Ooohh.. bagaimana k*c*kanku sayang? Enak? Kalau mendengar er*ngan dan goyangan pinggulmu, aku yakin kamu menyukainya. Dan lagi, tanganku sudah terasa basah oleh cairan bening yang keluar dari lub*ng pen*smu. Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi amat menginginkan cairan m*nimu?”)
Putaran pinggul Bi Imah semakin l*ar mengikuti k*c*kanku pada klit*risnya. Erangan dan des*hannya sudah menjadi teriakan-teriakan kecil. Ia sudah tak peduli kalau orang lain akan mendengar. Dengan satu tangan yang masih bebas, kulepaskan cel*na d*lam CK-ku sehingga Bi Imah semakin bebas meng*c*k pen*sku.
“Fi.. kita berdua tel*njang bulat Fi.. kita berdua, bibi dan keponakan, tel*njang bulat di ruang tamu..” Desahnya sambil memejamkan mata dan tersenyum manja.
Lalu kuhentikan k*c*kanku, dan kuletakkan ujung j*ri t*ngah dan telunjuk di pintu v*ginanya. Pelan-pelan kudesakkan kedua jariku ke dalam l*ang yang sudah teramat basah itu.
“Eeehh..” Isteri pamanku itu meng*rang lalu mengg*git pundakku dengan gemas, ketika kuputar-putar jemariku seraya mendesakkannya lebih kedalam. Lalu mend*d*k kuhentikan gerak jemariku itu dan berkata,
“Bi.. bibi yakin mau melakukan ini?”
“Ohh ke.. kenapa kamu tanya itu yang..? ss..” tanyanya dengan pandangan sayu seraya mend*sis dan menyorong-nyorongkan selangk*ngannya dengan harapan jemariku melesak semakin dalam.
“Emm, ingat omongan bibi sebelum ini? Bibi bilang ini kesalahan terbesar?”
“Kamu tahu maksud bibi mengatakan itu?” Aku menggeleng.
Perlahan, senyum nakal mengembang di bib*r perempuan itu.
“Adalah kesalahan besar kalau bibi menolak pen*smu yang.. aahh..” Kut*sukkan kedua jariku sehingga melesak masuk ke dalam v*gina basah itu sehingga pemiliknya menjerit walau belum habis berkata-kata.
Mata Bi Imah membelalak, mulutnya menganga seakan sedang mengalami keterkejutan yang amat sangat.
Rasakan! Senyumku dalam hati. Inilah upah berpura-pura Bi Imah.
Aku tahu bibi menginginkan ini sejak perjumpaan pertama. Aku tahu penolakan-penolakanmu itu tak sepenuh hati.
(“Ouuhh.. ini gilaa.. Ini gilaa..! v*ginaku dit*suk oleh jari-jari lelaki! Suatu perbuatan yang selama ini cuma ada di perbincangan ibu-ibu arisan. Itupun diucapkan dengan nada heran bercampur tak percaya. Namun sekarang aku mengalaminya! Dan aku tak merasa heran. Malah merasa biasa. Yang ada cuma kegelian dan kegatalan yang semakin terasa berputar-putar di v*ginaku. Ohh, apakah aku akan org*sme? Secepat itukah? Hmh, kalau saja suamiku tahu apa yang kualami hari ini. Ia akan sadar bahwa apa yang diberikannya selama 15 tahun itu tak ada apa-apanya!”)
Pelan-pelan kugerakkan jemariku keluar masuk v*gina Bi Imah. Gerakan itu semakin lama semakin cepat. Dan ruangan itu kembali dipenuhi oleh jeritan-jeritan Bi Imah yang semakin mengg**la bercampur dengan kecipak v*ginanya yang sudah banjir tak keruan.
Sambil terus menusuk-nusukkan jemariku di selangk*ngannya, pelan-pelan kubaringkan tubuh isteri pamanku itu di atas sofa. Bi Imah merebahkan tubuhnya seraya membuka selangk*ngannya. Tus*kan dan putaran jemari di v*gina perempuan itu semakin kupercepat.
Pinggulnya kini bergerak naik turun seakan tengah mengimbangi tus*kan-tus*kan pen*s lelaki. Aku menc*um pangkal lengan mulusnya yang membentang ke atas mencengkram pegangan sofa. Lalu bib*rku menelusuri lengan itu ke arah ket*aknya.
Sambil meng*cup dan sesekali mengg*git, bib*rku akhirnya sampai pada ket*aknya yang disuburi oleh rambut lebat. Harum ket*aknya membuat pen*sku semakin berdenyut di tengah k*c*kan tangan Bi Imah. Lalu bib*rku meng*cup dan menarik-narik rambut ket*aknya dengan buas,
“Haahh.. haahh.. Fii.. gelii..” Perempuan itu mend*d*k menjerit l*ar.
Ah, rupanya ketiak merupakan salah satu ‘titik lemah’ yang dapat memicu kel*aran dan keb*nalan b*rah*nya.
Kriing.. telepon sialan! Kalau itu pamanku, ia benar-benar laki-laki yang menyebalkan! Makiku dalam hati.
Bi Imah menggeser pinggulnya berusaha meraih gagang telepon. Pinggulnya terus bergerak-gerak mengisyaratkanku untuk terus meng*c*k dan menusuk v*ginanya dengan jariku.
“Haloo.. Haloo..” Bi Imah sama sekali tak berusaha menyembunyikan nafasnya yang tersengal-sengal. G*la, nekat sekali dia.
“Haloo..” Ia mulai meninggikan suaranya. Setelah beberapa saat tak mendengar jawaban, Bi Imah menggeletakkan begitu saja gagang telepon di atas sofa.
“Siapa itu bi? Mang Iyus?”
“Tauk, nggak ada suaranya..” katanya seraya memeluk leherku dan menc*um bib*rku dengan kekangenan yang luar biasa.
“Fii..” Des*hnya manja, “Bibi mau.., masukin pen*smu sekarang dong.. please..”
Wah hebat. Bibiku ini sudah menggunakan terminologi Inggris! Please, katanya.
“Sabar sebentar ya bii..” ujarku tersenyum sambil mengeluarkan jemariku dari v*ginanya.
Lalu menggeser tubuh sintal Bi Imah sehingga terduduk bersandar di sofa. Kakinya menggelosor ke lantai dengan sedikit meng*ngk*ng.
“Mau diapain yang..?”
“Sshh.. nikmatin saja bi..”
Aku mulai menc*umi dan meny*dot kedua buah d*d* montoknya. Lalu pelan-pelan bib*rku mulai menyusuri perutnya yang semulus marmer itu ke arah selangk*ngan. Menyadari arah bib*rku, perempuan itu mengepitkan kedua p*hanya dan menahan kepalaku.
“Fi.. jangan Fi.. jangan ke situ.. bibi Risih..”
“Hmm.. kenapa risih bi..? Kan pen*s dan tangan saya sudah pernah masuk ke v*gina bibi?”
“Dasar bandel.., bibi risih.. soalnya kalau kamu c*um disitu.. kamu akan lihat semuanya.. bibi.. bibi malu..”
{{Jantung Nuke nyaris terlompat dari d*d*nya mendengar percakapan yang baru saja didengarnya, Nuke adalah istri muda pamanku. Ia masih memegang gagang telepon di rumahnya. Baru saja ia memberanikan diri untuk menelepon isteri tua suaminya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Ternyata yang menelepon tadi adalah Nuke.
Sebagai isteri muda, ia merasa tak nikmat menjadi penyebab pertengkaran suaminya dengan perempuan itu. Namun, entah mengapa, ketika isteri pertama suaminya itu menjawab teleponnya dengan nafas tersengal, Nuke merasa keberaniannya hilang. Ia juga merasa ada sesuatu yang luar biasa tengah terjadi pada perempuan itu.
Dan Rafi, keponakan suaminya yang sedang berlibur itu, ternyata sudah pernah meny*tub*hi Imah. Juga, anak muda itu pernah memasukkan jarinya ke dalam an*-nya Imah! Oh, haruskah ia menceritakan ini pada suaminya? Pantaskah ia menguping perbuatan mereka?
Pelan-pelan, Nuke kembali mendekatkan gagang telepon itu ke telinganya.
“Ngga apa-apa bi.. ngga usah malu.. v*gina perempuan kan sama dimana-mana?” Terdengar suara lelaki itu berusaha menenangkan Imah. Oh, akankah keponakan suaminya itu berhasil menc*um an* bibinya sendiri? Tanpa sadar, Nuke menggigit bib*r dengan perasaan tegang.
“Fii! Please.. ganti kata-kata pen*s dan v*gina itu! Bibi risih mendengarnya..” Terdengar lelaki itu tertawa. “Oke.. gimana kalau pen*s dan v*gina? Sound better?” Lalu terdengar suara orang berc*uman. Nuke menelan ludah, dan menyilangkan kedua p*hanya. Lama tak terdengar suara apa-apa. Oh, apa yang sedang mereka lakukan? Tiba-tiba Nuke terperanjat oleh jeritan Bi Imah.
“Fii.. jangaann.. pleaasee.. bibi maluu..” Terdengar suaranya seperti orang hendak menangis.
“aa Fii, jangan dipaksa dong.. oh.. oohh.. oohh..” Lalu yang ada di telinga Nuke adalah rint*han dan er*ngan Imah penuh kenikmatan. G*la pemuda itu. Kelihatannya ia berhasil menc*um dan menjil*t an*-nya Imah. Oh, seperti apakah rasanya? Pasti luar biasa, karena suara perempuan itu tak melawan lagi dan cuma melolong-lolong keenakan.
“Ooohh.. Fii.. nikmat bangeet.. Yah.. yah.. iyaahh.. sed*t daging yang atas sayang.. yah itu.. itu.. aahh.. s*dot terus Fii.. s*dot terruuss..” Nuke mulai menggesek-gesekkan kedua p*hanya. Ada perasaan geli dan gatal mengalir ke selangk*ngannya. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Mang Iyus tepat dibelakangnya.
“Gimana Nuk? Sudah bicara dengan Imah?” Nuke menutupi bulatan tempat bicara pada gagang telepon, takut suara suaminya terdengar oleh pasangan yang tengah asyik masyuk di ujung sana.
“mm belum, teleponnya masih bicara”, katanya berbohong.
Tampak suaminya menghela nafas. Nuke merasa kasihan melihat wajah suaminya itu. Lelaki malang, ia tak tahu isteri pertamanya kini tengah asyik berg*mul dengan keponakannya sendiri.
“Kalau begitu, ayo kita antar ibu ke dokter.”
“Emm, Kang Iyus saja deh yang nganter. Nuke mau coba telepon teh Imah dulu, nggak enak rasanya.”
Suaminya hanya mengangkat bahu dan berlalu. Setelah mobil suaminya melesat keluar, Nuke buru-buru mengganti kebayanya dengan daster, tanpa b*ha, tanpa cel*na d*lam. Lalu dengan segera meletakkan gagang telepon itu kembali di telinganya.}}
Bi Imah mengangkat kedua p*ha dan menyandarkannya di pundakku. L*dahku dengan rakus menjil*t daging merah yang terletak di antara dua bib*r v*ginanya. Kedua bib*r itu sudah terbuka lebar dikuak oleh kedua tanganku. Rasa asin dil*dahku makin merangs*ng b*rahiku.
Sesekali aku memasukkan l*dahku ke dalam lub*ng v*gina itu dikombinasikan dengan sedotan-sedotanku pada v*gina Bi Imah. Perempuan itu menghentakkan pinggulnya sambil menjil*ti bib*rnya sendiri. Tangannya menekan kepalaku dengan keras di selangk*ngannya.
{{Er*ngan dan rint*han Imah, membuat selangk*ngan Nuke semakin dipenuhi oleh rasa geli dan gatal. Brengsek. Kenapa aku jadi penasaran dengan permainan mereka? Bagaimana akhirnya? Hmm seperti apakah lelaki bernama Rafi itu?
“Ohh Fii.. lidah kamu seperti pen*s.. nikmat banget keluar-masuk seperti itu.. bibi rasanya sudah nggak tahan.. tolong masukin pen*s raksasamu sekarang dong Fii.. please..”
Pen*s raksasa? G*la juga isteri tua suamiku itu, kata Nuke dalam hati. Kok dia nggak malu minta-minta dimasukin seperti itu ya? Sial, aku malah jadi penasaran. Seperti apa sih si Rafi itu? Dan, mm, sebesar apa sih pen*snya?
“Fii.. ayo dong.. bibi hampir keluar nihh.. hentikan sed*tanmu sayang.. ayoo..”
Huh, n*fsu perempuan itu ternyata besar juga. Pantas dia tak tahan oleh godaan keponakannya sendiri. Apalagi an*-suaminya sedang ada masalah. Oh, tak terasa sudah hampir 6 bulan saat terakhir aku merasakan sentuhan Kang Iyus. Tiba-tiba perempuan itu merasa iri pada Imah. Bagaimanapun, isteri tua suaminya itu berani mengambil keputusan! Nuke mengakui.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di sambungan telepon itu.
“Aduh, telepon sialan, ngganggu saja!” Terdengar mak*an Imah begitu jelas di telepon. Oh, rupanya perempuan itu kini terbaring dan kepalanya menindih gagang telepon yang masih tergeletak di sofa. Nuke berharap cemas semoga telepon itu tidak diputus.
Lalu terdengar suara kec*pan dan er*ngan. Oh mereka mulai lagi berc*uman dengan bern*fsu. Syukur mereka tetap tak peduli dengan teleponnya. Aku bisa membayangkan seorang pemuda tengah merayap di atas tubuh Imah, lalu perempuan itu membuka lebar-lebar p*hanya, lalu lelaki itu menempelkan pen*snya di pintu v*gina isteri tua suamiku itu, lalu mendorong pelan-pelan pinggulnya.
” Yah Fii.. Yah.. pelan-pelan Fii.. ouhh besarnyaa..” Imah mulai mer*ntih-r*ntih. Nuke menggesek-gesekkan p*hanya. Berkali-kali ia menelan ludah. Jantungnya berdegup cepat. Oh, lelaki itu mulai memasukkan pen*snya ke dalam v*gina Imah! Tangan isteri muda itu menyelip ke dalam selangk*ngannya. Ada kelembaban yang hangat terasa di sana.
“Uhh.. Fii stop dulu sayang.. ssakiit.. hh.. hh.. hh..”
Nuke sempat bergidik mendengar r*ntihan Imah. Seberapa besar punya-mu Rafi? Oh, kenapa aku jadi tak sabar ingin bertemu dengan pemuda itu? Nuke, jangan gila! Kau kan tidak berharap pemuda itu melakukan apa yang diperbuatnya pada Imah kepadamu? Nuke tidak tahu jawabnya.
Andaikan ia tahu pun ia tak mau menjawabnya. Suara nafas Imah jelas sekali di telepon. Kentara sekali ia tengah menenangkan dirinya menahan sakit dan nikmat karena dimasuki pen*s keponakannya yang besar itu.
“Yang.. bibi sudah siap.. ayo.. masukkan semuanya.. yahh.. iyyaahh..”
Oh, g*la, g*la.. pen*s besar itu pasti sudah masuk semua! Oh, terbayang nikmatnya. Terbayang rasa kesemutan dan pegal itu. Nuke teringat kala pertama kali suaminya merenggut keper*wanannya. ss.. Ohh.. Isteri muda itu mulai menekan-nekan v*ginanya dari luar daster. Lalu mulailah terdengar suara kec*pan, suara er*ngan pasangan kasmaran itu yang seirama dengan bunyi sofa berderit-derit.
” Ahh.. terus Fi.. teruus.. lebih cepat.. Lebih cepaat..” Jerit Imah. Dan suara derit pun terdengar lebih cepat. Oh, bisa kubayangkan pinggul lelaki itu naik-turun dengan cepat. Juga bisa kubayangkan suara v*gina Imah berkecipak dihunjam dengan keras oleh benda besar milik keponakan suamiku itu.
“Yahh.. sed*t yang keras Fi.. sed*t yang keraas.. g*git put*ng bibi sayang.. g*git put*ng bibii.”
Oh, tiba-tiba Nuke mengeluh, bisakah aku seberuntung perempuan itu?}}
Leherku terasa hampir patah dipeluk oleh Bi Imah. Ia memintaku untuk menyed*t buah d*d*nya sekuatku, menjil*t put*ngnya secepatku, dan memompakan pinggulku sekerasnya.
Tak kalah dengan tangannya, kedua kakinya merangkul erat pinggangku. Hentakan pinggulku membuat buah d*d* isteri pamanku itu berguncang-guncang keras. Mulutnya yang s*ksi terus menganga menghamburkan jeritan-jeritan b*rahi. Kaki indahnya yang masih mengenakan sepatu hak tinggi hitam itu, kini terangkat di udara seakan menyambut tus*kan-tus*kan pen*sku.
Keringat sudah membasahi seluruh tubuh membuat kulit kami terlihat mengkilat dan licin bila diges*kkan satu sama lain. Otot tubuh Bi Imah tiba-tiba menegang. Oh, apakah ia akan mencapai puncaknya? Padahal aku belum apa-apa. Aku masih ingin lebih lama menikmati perg*mulan ini.
{{Nafas Nuke mulai memburu. Jantungnya berpacu dengan gesekan tangan di selangk*ngannya. aah, permainan panas Imah dengan anak muda itu benar-benar membuat v*ginaku becek gila-gilaan. Beruntung rumah ini kosong, pikir perempuan berusia 20 tahun itu seraya menyingsingkan dasternya sehingga v*gina polos tak berbulu itu langsung menyentuh bantalan kursi. Sejak remaja ia telah mencukur habis bulu kem*lu*nnya. Terasa lebih bersih, demikian alasannya.
Lalu dengan cepat ditempelkannya jari tengah pada tonjolan daging di ujung atas bib*r v*ginanya. Kini, jantung Nuke berpacu dengan k*c*kan jari di klit*risnya. Ia mendes*h, mend*sis, seraya memegang gagang telepon itu dengan kuping dan pundaknya. Tangannya yang satu tengah membuka kancing dasternya dan menyelinap cepat mencari buah d*d* berukuran 34 itu.
Ohh, nikmatnya sentuhan-sentuhan di buah d*d*, put*ng dan v*ginaku. Pasti lebih nikmat lagi kalau tangan keponakan suamiku itu yang melakukannya. Ahh, ss, pemuda brengsek. Kenapa kau tidak menginap disini?
“Fii.. kamu.. hh.. sudah mau keluar.. hh.. sayang..?” Suara Imah terdengar serak dan terputus-putus. Nuke mempercepat putaran dan pelintiran di klit*risnya.
Mulutnya menganga, rint*hannya mulai terdengar keras. Tiba-tiba ia merasa seakan-akan v*ginanya dipenuhi oleh pen*s keponakan suaminya itu, yang memompa dengan keras. aahh.
“Belum Fii..? Kamu belum mau keluar? Ooohh bibi sudah nggak tahan sayang.. bibi mau keluar.. nggak apa-apa ya bibi duluan..”
Nuke mempercepat putarannya. Tangan satunya kini memilin dan menarik-narik put*ngnya dengan keras. Ia seakan bisa merasakan pompaan pen*s pemuda itu pada v*gina Imah semakin cepat dan semakin cepat.. dinding v*ginanya mulai berdenyut cepat, nafasnya semakin cepat.}}
Pinggulku menghentak semakin cepat dan cepat. Tubuh Bi Imah terguncang kesana kemari, dan gelinjangnya tampak sudah tak karuan. Tiba-tiba p*hanya menjepit keras, dan pinggulnya yang sedari tadi berputar-putar l*ar itu diangkat tinggi-tinggi dan..,
“Oooh.. bibi keluar.. bibi keluaarr.. ngg..”
Terdengar suara Bi Imah merengek panjang. Tangannya menjambak rambutku dan serta mencakar pundakku. Matanya membelalak dan mulutnya meringis. Otot wajahnya tegang seperti orang yang tengah melahirkan. Ketika itu juga pen*sku terasa hangat disemprot oleh cairan org*sme Bi Imah. Dan dinding v*ginanya seperti menyempit mer*mas-r*mas pen*sku.
{{aahh, Rafii.. aahh aku.. aku juga keluaarr.. Nuke menghempaskan tubuhnya ke tembok. Gagang teleponnya terjatuh ke lantai.}} Suara apa itu? Seperti keluar dari gagang telepon yang tergeletak di sisi kepala Bi Imah yang kini terbaring lemas, seperti orang yang kehilangan tulang-belulang. Ah, mungkin cuma imajinasiku saja.
Aku menghentikan aktifitasku, dan menikmati keindahan wajah isteri pamanku yang sedang mengalami org*smenya. Pipi ranum perempuan itu kini tampak memerah, buah d*d*nya mulai naik turun dengan irama teratur. Pelan-pelan wajah cantik itu membuka matanya, lalu dengan lembut ia menc*um keningku dan dengan penuh kasih sayang memelukku erat.
“Terima kasih sayang, terima kasih.” Bi Imah memandangku dengan mata berbinar. “Kamu sudah menghilangkan dahaga bibi selama ini..”
“Sama-sama bi.., bibi juga merupakan perempuan diatas 30 yang tercantik dan terseksi yang pernah saya lihat. Ini kali pertama saya tidur dengan wanita seusia bibi. Dan..” Aku menc*um bib*rnya lembut.
“Tingkah dan tubuh bibi nggak beda dengan per*wan.” Perempuan itu tergelak, lalu mencubit pinggangku.
“Dasar perayu, ayo kasih bibi satu menit untuk membersihkan diri, lalu giliran kamu bibi puaskan.”
Ia mencabut pen*sku yang masih tegang dari v*ginanya, lalu membimbingku ke kamar mandi.
“Punyamu itu benar-benar mengerikan lho Fi..” Komentarnya ketika menyiramkan air dingin di tubuh kami berdua.
Air dingin itu mend*d*k seakan memberi tenaga baru bagi kita berdua. Kesegarannya terasa mengalir dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Setelah mengeringkan tubuh, perempuan itu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Pen*sku yang sempat layu, kembali menegang menempel di perut mulusnya.
“Hmm..” Ia bergumam kagum. “Si besar-mu itu sudah siap rupanya?” Aku mengangguk.
“Kamu mau main di mana Fi? Di kamar bibi..?”
Aku menggeleng “Ngga bi.., ini kamar Mang Iyus, saya nggak mau, bau kamar ini mengingatkan saya kalau bibi isteri paman saya dan itu membuat saya cemburu..” Bi Imah tersenyum bahagia mendengar kata-kataku itu, mukanya berbinar-binar persis seperti remaja yang sedang kasmaran. Ia pun mulai menggesek-gesekkan perutnya ke pen*sku membuat cairan bening itu keluar lagi membasahi pusar.
“Kalau begitu kita main di sofa lagi ya..?” Tanpa menunggu jawaban, ia membimbingku menuju sofa. Gagang telepon itu masih tergeletak di sana. Sambil duduk, aku meraih gagang itu untuk kuletakkan kembali di tempatnya, namun Bi Imah mencegah.
“Jangan. Biarkan disitu. Bibi ngga mau diganggu oleh telepon dari pamanmu. Malam ini, kamulah suami bibi dan seorang isteri yang baik akan melakukan apa saja untuk menyenangkan suaminya.. ya nggak yang..?”
{{Benar firasatku. Mereka akan memulai lagi permainan panasnya! Tapi tak kusangka Imah sedemikian marahnya pada suamiku, ehm, suami kami. Seperti kemarahan yang terakumulasi lalu meletus dengan dahsyatnya.
Oh kedengarannya mereka sudah mulai. Imah mulai meng*rang dan mer*ntih, wah sedang diapakan dia?? Hmh.. betapa beruntungnya kau Imah.. Semoga aku sempat mencicipi pemuda itu sebelum pulang ke Bandung!! Nuke melihat jam di dinding, sudah 20 menit sejak suaminya pergi ke dokter.
Ahh, mudah-mudahan antreannya panjang. Lampu di kamar tengah itu padam. Nuke terbaring di atas kasur busa sambil menempelkan gagang telepon erat-erat di kupingnya. Tubuhnya tel*njang bulat.}}
Sehabis menggosok-gosokkan jemariku di lipatan v*ginanya, dengan gemas kuraih tubuh tel*njang isteri pamanku itu dan kududukkan di pangkuanku dengan posisi saling berhadapan.
Kakinya yang mulus itu meng*ngk*ng sehingga bagian bawah pen*sku menempel tepat di belahan v*ginanya. Dad*nya yang busung tepat berada di depan mulutku. Dengan segera kubenamkan mulutku di belahan buah d*d*nya.
“Emm.. “, Bi Imah menggelinjang genit “Kamu suka sekali sama susu Bibi ya..?” Sambil mulai meny*dot put*ngnya aku mengangguk.
Bi Imah mulai bergumam seperti orang terserang demam sambil memeluk leherku. Pant*tnya digerakkannya maju mundur sehingga v*ginanya menggesek-gesek b*tang pen*sku. Tak sampai 3 menit berg*mul, Bi Imah sudah terangs*ng kembali. Kasihan Bibiku ini. Begitu lamanya ia menahan dahaga sehingga akibatnya, cepat sekali perempuan itu terangs*ng.
“Ooohh Fii.. bibi ngga tahan.. ” Tiba-tiba dengan cepat tangannya menangkap pen*sku, ia mengangkat pant*tnya sedikit lalu menyelipkan kepala pen*sku di bib*r v*ginanya. Pelan-pelan, ia menurunkan pant*tnya sehingga b*tang besar itu melesak ke dalam v*ginanya yang, my god, sudah basah itu.
“Aah.. ss.. aahh..” Bi Imah mulai mendesis-desis merasakan kenikmatan di dinding v*ginanya. Hmm, agak terlalu cepat prosesnya, pikirku. Lalu kuhentikan gerak pant*t perempuan itu sehingga pen*s yang baru masuk seperempatnya itu tertahan di dalam.
“Ohh.. kok ditahan ‘yang..?” Bi Imah bertanya dengan nada kecewa.
“Nggak, saya ingin cara lain bi.. bibi ngga keberatan kan..?”.
Tiba-tiba perempuan itu tersenyum malu dan melepaskan pen*sku dari jepitan v*ginanya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku sambil memelukku mesra.
“Maaf ‘yang, bibi lupa sama kamu. Bibi memang egois. Bibi cuma memikirkan bagaimana untuk secepatnya org*sme lagi.. Maklum, anak per*wan..”
Kami berdua tergelak. Bi Imah, Bi Imah.. sayang kau isteri orang.
“Oke, kamu mau bibi ngapain supaya puas..”
“Coba bibi berlutut di depan saya..” Bi Imah tersenyum dan berlutut tepat diantara dua p*haku. Pen*sku kini tepat berada di d*d*nya yang montok.
“Terus.. ngapain..?” Katanya polos.
“Tutup mata bibi dan buka mulut.. saya ingin menc*um bib*r bibi sambil berlutut..”
“Uuuhh.. macem-macem.. ” Ujarnya manja, sambil menutup mata dan membuka mulutnya.
“Mulutnya kurang lebar bi.. saya ingin menjil*t lidah bibi..”
{{Apa yang kau inginkan Rafi..? Jangan-jangan ia ingin agar Imah memasukkan..}}”mm! mm!” Bi Imah menjerit-jerit kaget ketika kumasukkan pen*sku ke dalam mulutnya. Ia terbelalak melihat b*tang besar itu bergerak keluar masuk rongga mulutnya. Tampak ia agak jijik dan risih sehingga beberapa kali tampak hendak mel*dahkan pen*s itu keluar. Namun, tanganku dengan kokoh menahan kepalanya untuk memaksa mencicipinya.
“Maaf bi, saya paling suka kalau pen*s saya dik*lum. Saya takut kalau minta, bibi malah nggak mau. Nah, terpaksa saya agak maksa. Tapi rasanya nikmat kan?”
“Mmm..!” Bi Imah menggumam keras sambil memperlihatkan ekspresi berpura-pura marah.
Tapi, ia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun tanpa paksaan. Nafasnya juga ikut memburu. Rupanya dengan meng*lum pen*sku ia semakin terangs*ng b*rah*nya.
“Yaahh.. begitu Bi.. tapi giginya jangan kena b*tang saya dong Bi.. sakiit.. Naahh begitu.. aouhh.. aahh..”
{{Nuke memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, lalu meng*lumnya. Oh Rafii, kau benar laki-laki penuh fantasi. Benar dugaanku, kau memang menginginkan pen*smu dik*lum dan dih*sap. Oooh nasib, kenapa Bi Imah selalu yang ditakdirkan untuk mendapat sesuatu pertama kali? Perempuan itu kemudian mer*mas buah d*d*nya dengan keras.
Telunjuknya serasa berubah menjadi pen*s besar milik keponakan suaminya itu, walaupun ia tak pernah melihat bentuk aslinya. Tiba-tiba ia merasa batinnya seakan mengucapkan sumpah, “Aku harus mendapatkan pemuda itu, apapun resikonya!”}}
“Bii.. sekarang sambil masuk keluar, l*dah bibi digoyang dong.. supaya kena urat sebelah bawah yang deket kepala.. yaahh.. yaah.. gituu.. addouwww.. Bii.. ennakk.. aahh..” Aku mulai menggelinjang-gelinjang. Tubuhku kini bersandar dengan santai di sofa dan hanya pinggulku yang bergoyang-goyang mengikuti irama keluar-masuk mulut isteri pamanku itu.
Bi Imah memang orang yang cepat belajar. Terbukti tanpa petunjuk, ia mulai mengembangkan sendiri teknik-teknik or*l s*ks. Seperti yang sedang ia lakukan saat ini, Bi Imah tengah menyedot sambil sesekali menggigit urat sensitif di bawah kepala pen*sku.
Lalu, ia juga mengecup dan mencubit-cubit dengan bib*rku b*tang pen*sku dari arah kepala sampai kedua bola di pangkalnya. Dan yang g*la, ia kini bisa mengkombinasikan antara k*luman dan k*c*kan tangan. Pen*sku digenggamnya di bagian atas lalu diturunkannya ke pangkal b*tang.
Ketika bagian kepala pen*sku keluar dari ujung genggamannya, mulutnya langsung menyambut untuk dik*lum. Demikian seterusnya. Aku hanya bisa berkata “Bii.. bibii.. ennaakk.. aahh..” seraya membelai-belai punggungnya yang putih mulus itu. Kadang-kadang belaianku itu mendekati bel*han pant*tnya, yang sesekali kuremas gemas.
{{Hebat kau Imah, aku iri padamu. Kau bisa membuat pemuda itu meng*rang keenakan dengan sed*tan dan his*panmu. Itu berarti, kau ahli memuaskan lelaki.}}
Aku mencabut pen*sku dari mulutnya lalu mengecup bib*rnya mesra.
“Terima kasih Bi.., Bibi memang baik sekali..”
“Tapi, kamu kan belum keluar ‘yang..?”
“Hehe.. nanti juga keluar sendiri.. bi.. pinjam sus*nya dong..”
Aku meletakkan pen*s besarku di bel*han buah d*d* bibiku yang montok itu. Seakan sudah berpengalaman, perempuan itu menjepit pen*sku dengan buah d*d* kiri kanannya, lalu pelan-pelan mulai bergerak naik turun.
“Oaah.. Oaahh.. Bii.. Bibii jepitan sus*nya nikmat bangeett.. pen*s saya rasanya diremes-remes.. aahh..”.
{{Nuke mengangkat kedua p*hanya sehingga dengkulnya nyaris menyentuh buah d*d*nya, lalu ia memasukkan j*ri teng*hnya ke dalam liang v*ginanya. aahh, aku tak tahan lagi mendengar permainan mereka. Aku ingin cepat-cepat org*sme lagi. Dan perempuan itu mulai memutar-mutarkan jarinya di l*ang lembab itu. Rafi, Imah, kalian memang g*la.
Belum pernah aku mendengar kisah pers*tub*han sepanas kalian. Apalagi yang sedang kalian lakukan sekarang. Menjepit pen*s dengan kedua buah d*d*? Lalu, si lelaki menggerakkan pen*snya maju mundur? Ohh benar-benar sensasional!
Tiba-tiba didengarnya suara pemuda itu berkata, “Bii.. saya ngga tahan lagi.. bibi benar-benar merangs*ng b*rahi saya.. Coba sekarang bibi berdiri menungging. Pegang dudukan sofa ini..”
“Begini Fi..?”
“Yak.. betul. Kakinya dibuka agak lebar.. yak. Fuuhh.. Pantat bibi seksi sekalii..” Terdengar suara pemuda itu seperti memuja sesuatu.
“Kalau bibi goyang seperti ini, kamu suka?” Imah mulai menggoda dengan nada senang. Tentu saja senang. Siapa yang tak senang dipuji? Tanpa sadar Nuke berkata ketus dalam hati.
“‘Yang.. kamu mau masukin dari belakang?”
“Yak.. ini satu lagi kesukaan saya.. bibi pernah melakukannya?”
“Boro-boroo..” Nuke tersenyum masam mendengar jawaban Imah. Perempuan itu benar. Kang Iyus adalah lelaki tanpa fantasi. Baginya s*ks adalah suatu kewajiban. Bukan alat untuk mencapai kenikmatan. Nuke pun mulai bisa mengerti mengapa isteri tua suaminya itu nekad bers*lingkuh dengan keponakannya sendiri.
Tiba-tiba terdengat suara Imah mer*ntih-r*ntih. “Sakit bi..?” Oh, pemuda itu mulai memasukkan pen*snya dari belakang! Ow, pasti nikmat sekali..!}}
“Sedikit.. ss.. pelan-pelan ya yang..?” Bi Imah mencengkeram kain dudukan sofa itu seraya mengg*git bib*r.
Rupanya ia merasa sakit menerima penet*rasi dari arah belakang untuk pertama kalinya. Baru separuh pen*sku memasuki v*ginanya. Aku membelai pant*t yang sedang men*ngging itu, terus ke arah punggung, lalu ke bawah menyambut buah d*d*nya yang bergelantungan. Kepalanya menengok kebelakang ingin melihat bagaimana pen*s besarku memasuki v*ginanya.
“Coba dorong lagi Fi.. sedikit-sedikit ya..?” Aku mengangguk dan mendesakkan pen*sku semakin dalam. “Yaahh.. iyyaahh.. RAFii.. auh.. panjang sekali punyamu yang..” Perempuan itu menjerit ketika seluruh pen*sku amblas tertanam dalam v*ginanya yang becek itu. Lalu mulailah aku menikmati posisi kesukaanku itu. Kuhentakkan keras-keras pinggulku ke pant*t Bi Imah.
Setiap hentakan menyebabkan pant*tnya bergetar dan buah d*d*nya berayun keras. Setiap hentakan itu juga menyebabkan mulut seksi perempuan berusia 30-an itu menjerit dan meringis. Lalu tempelkan perut dan d*d*ku di punggung mulusnya.
Tangan kananku mulai meremas-remas kedua b*ah d*d*nya serta mem*lin put*ngnya, sedang tangan kiriku meng*c*k tonjolan daging di pangkal v*gina yang dipenuhi oleh bulu-bulu keriting itu.
“aahh.. aahh.. nikmat sekali yang.. posisi ini ennaakk..” Hampir 5 menit kami berg*mul dalam posisi men*ngging.
Tiba-tiba kurasakan desiran itu bergerak cepat dari ujung kepala, turun ke d*d*, melewati perut, dan terus ke selangk*ngan.. Otot-ototku mulai menegang.
“Bii.. bibi.. Saya mau keluar bii..”
“Ya sayang.. ayo sayang.. bibi juga mau keluar.. bibi juga mauu..”
{{Ooohh Rafii, aku jugaa.. Nuke mempercepat tusukan jari tengah di v*ginanya. Terdengar suara mobil suaminya memasuki halaman. Nuke tak peduli.}}
Aku mendekatkan kepalaku ke kepalanya, Bi Imah menengok dan menyambut c*umanku dari belakang.
Kami saling memagut sambil terus merasakan gesekan-gesekan di kel*min kami yang semakin cepat, k*c*kanku di klit*risnya yang semakin l*ar, remasanku di buah d*d*nya yang semakin keras, c*uman kami yang semakin buas diiringi “mmhh.. mmhh..” yang semakin keras dan sering.
Tiba-tiba otot-otot tubuh kami menegang, lalu semakin menegang, semakin menegang, lalu..
“Bibii saya keluaar.. aahh..”
“Bibi juga sayang, bibi jugaa.. nngg..”
{{Tubuh Nuke meregang, lalu ia menus*kkan jemarinya dalam-dalam. Dan.. aaouuhh.. aku org*sme.. aku org*smee! G*la! Untuk kedua kalinya! Terdengar suara pintu mobil dibuka. Nuke melompat, menutup telepon, membawa kasur busa dan menghilang ke balik kamar tidurnya.}}
Malam itu, atas permintaannya aku meny*tub*hi bibiku sekali lagi di atas meja makan. Untuk membalas hutang tadi siang, begitu alasannya dengan nada gurau. Sesudah itu kamipun tidur berpelukan dengan mesra di kamarku sambil bertel*njang bulat. Sebelum tidur kami mengucapkan beberapa kata cinta dan berc*uman lama sekali.
Tag: cewe, perempuan, wanita